Sabtu, 04 September 2010

Lost In Communication

Bacaan hari ini: Matius 15:1-20
“Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat. Itulah yang menajiskan orang. Tetapi makan dengan tangan yang tidak dibasuh tidak menajiskan orang.” (Matius 15:19-20)

Sebenarnya ada apa sih dengan komunikasi itu? Kenapa menjadi hal yang begitu penting untuk dibicarakan? Semua pertanyaan itu akan terjawab apabila telah membaca postingan ini. Saya mungkin tidak bisa seahli ahli komunikasi negara kita macam Effendi Gazali tetapi saya membahas apa yang tertulis di Alkitab. Memang Alkitab tidak membicarakan secara detail tentang komunikasi itu, oleh sebab itu dibutuhkan suatu buku alternative lagi untuk memahaminya. Kiranya setelah kita membaca hingga selesai, kita bisa mempergunakan mulut kita menjadi saluran berkat bagi orang lain.

Kita sekarang hidup di zaman telekomunikasi, di mana kita bisa menggunakan banyak alternatif untuk berkomunikasi menjadi lebih mudah karena menjamurnya alat-alat komunikasi yang canggih dari tahun ke tahun. Hal yang paling kelihatan sekarang ini adalah menjamurnya handphone dengan harga yang bervariasi, mulai dari yang mahal hingga murah semua tersedia di dunia ini. Istilahnya hanya dengan jempol saja kita sudah bisa menggenggam dunia ini. Persoalannya sekarang adalah bukan masalah gadget yang dipakainya, ini berbicara mengenai masalah pribadi setiap orang, misalnya berkomunikasi antar teman.

Dalam perikop ini sudah tertulis bahwa bukan yang masuk yang menajiskan orang, melainkan yang keluarlah yang najis. Hal ini bisa dibuktikan dari pengucapan yang keluar dari mulut kita. Seberapa sering kita mengucapkan kata-kata kutuk dan menyakiti perasaan orang lain? Berbicara tentang masalah menjaga kesucian, kita pastinya sudah tahu apa yang orang Yahudi kuno lakukan ketika bertemu oleh orang-orang yang non-Yahudi. Yup, mereka menjauhi orang yang tidak sebangsa dengan mereka. Bagi orang Yahudi kuno, orang yang tidak sebangsa dengan mereka adalah najis. Mereka beranggapan bahwa semua yang di dunia ini adalah najis. Tidak bisa dibayangkan apabila adat-istiadat seperti itu dipakai oleh umat Kristen di zaman sekarang, lebih mementingkan adat-istiadat daripada hukum Tuhan sendiri. Tetaplah ingat 1 prinsip ini: Bukan yang masuk yang menajiskan, tetapi yang keluar.

Berapa banyak orang yang telah kita sakiti akibat perkataan kita? Sering kali kita menganggap bahwa apa yang kita ucapkan itu hanyalah gurauan saja, tetapi tidak semua orang yang menganggapnya seperti itu. Ada orang yang menganggap gurauan itu dengan serius sehingga orang tersebut tersinggung. Setiap orang mempunyai karakter yang berbeda, jangan samakan karakter mereka dengan karakter kita. Surat Yakobus mengatakan bahwa lidah itu adalah sesuatu yang kecil tetapi sangat liar. Sulit seklali untuk mengaturnya, tidak seperti kuda ataupun kapal yang bisa dikendalikan. Seperti kata pepatah, lidah tak bertulang.

Ada sebuah buku yang membahas bagaimana cara berbicara yang baik. Rangkumannya kira-kira seperti ini:
1.   Caranya harus baik
Mungkin sebenarnya kita memberikan sesuatu informasi yang menarik kepada teman kita, tetapi karena caranya yang salah (mungkin menggunakan nada yang tinggi) membuat ia tersinggung. Informasi yang baik tetapi tidak disampaikan dengan cara yang benar sama saja bohong.
2.   Ada manfaatnya
Jangan menjadi orang yang hanya bisa omdo alias hanya asal berkata tapi tidak ada manfaatnya. Itu sama saja berkata dengan sia-sia. Mother Theresa berkata lebih banyak lakukan dengan tindakan untuk menolong orang lain yang terluka dibandingkan hanya sekadar berkata tanpa makna.
3.   Isinya tepat
Terkadang orang berkomunikasi dengan orang lain tidak ada isinya, alias tong kosong nyaring bunyinya. Mereka sering berbicara hal-hal yang tidak terlalu penting atau sangat tidak penting untuk diperbincangkan, misalnya masalah kehidupan si anu dan semacamnya. Apa gunanya bagi kita kalau kita membicarakan hal ini? Ada segerombolan anak sekolah yang hampir setiap hari nongkrong di sebuah warung membicarakan hal-hal yang tidak jelas satu dengan yang lainnya. Padahal seharusnya saat itu adalah waktu untuk mereka ke sekolah dan belajar. Apakah sekolah pindah ke warung itu atau bagaimana saya tidak mengerti. Yang jelas mereka berkumpul untuk berbicara hal-hal yang tidak ada gunanya untuk masa depan mereka nantinya. Nah, apakah kita salah satun yang berkata tanpa isinya? :P
4.   Tepat Waktunya
Ketika kita ingin mengungkapkan sesuatu, perhatikanlah juga dari sisi lawan bicara. Ketika ada orang yang sedang tidak mood dan kita mengtucapkan sesuatu hal kepadanya, pasti ia akan marah walaupun tidak ada unsur mengejek atau apapun itu. Zaman yang canggih tidak berarti bahwa setiap komunikasi yang kita lakukan berjalan baik dan lancar. Kita berkomunikasi dengan manusia yang memiliki karakter yang sulit untuk ditebak, bukan robot yang tidak memiliki karakter tersebut. So, THINK BEFORE TALK.

Ada sebuah cerita tentang seorang anak muda yang berkonsultasi kepada seorang pendeta karena ia sering tidak bisa mengendalikan emosinya dengan baik. Ia ingin mendapatkan sebuah jawaban yang sekiranya bisa menolongnya mengatasi kesulitan ini, namun kenyataanya tidak seperti yang dibayangkannya. Sang pendeta menyuruh menagmbil beberapa paku dan sebuah palu.
“Tancapkan paku itu ke dalam tembok dengan menggunakan palu, anggap cara ini dgunakan untuk melampiaskan rasa emosimu dengan terus menancapkan paku demi paku hingga emosimu reda.”
Awalnya sang anak muda itu tidak mengerti apa yang sebenarnya ada di pikiran pendeta ini, tapi akhirnya ia meurut apa yang diperintahkan pendeta itu. Ia menancapkan setiap paku yang ada ke dalam tembok hingga emosinya mulai reda. Setelah merasa sudah cukup dan sang pemuda ingin pulang karena kecewa tidak mendapatkan jawaban yang diinginkannya, sang pendeta berkata:
 “Jangan pulang dulu, sekarang cabuti paku itu satu demi satu dari tembok itu.” Sang pemuda semakin heran lagi mengapa pendeta itu menyuruhnya untuk mencabut paku yang telah dipasangnya itu. Dengan agak terheran-heran dan sedikit marah, ia mencabut paku-paku itu.
“Sekarang apa yang bisa dipelajari dari sini?” Tanya sang pendeta.
“ Saya tidak mengerti apa maksud Anda.” Sang pemuda menjawab.
“Kamu lihat? Ini merefleksikan tentang masalahmu itu. Setiap kali ada yang membuatmu tersinggung, kamu akan marah. Setelah beberapa lama, kamu merasa bahwa hal itu adalah masalah sepele dan berpikir untuk melupakan dan memaafkan orang tersebut. Namun apa yang terjadi? Ada bekas bolong seperti yang terlihat di tembok ini. Sebenarnya jauh di dalam hati kita, kita masih belum bisa memaafkan dan melupakan kesalahannya.
Lihat? Seperti itulah orang yang merasa tersakiti akibat perkataan kita. Kita bukan hanya sekadar mengucapkan kata-kata saja, tetapi membawa dampak bagi orang lain. Jadi berkomunikasi yang baik itu sulit dong? Betul. Komunikasi itu sangat sulit dilakukan, tapi tidak mustahil untuk dilakukan. Banyak keluarga maupun gereja terpecah-belah bukan karena masalahnya, tetapi karena komunikasi antar mereka yang tidak bisa menjaga ucapan mereka dengan baik. Tidak adanya filter dalam berkomunikasi di dunia maya juga bisa memicu perpecahan global (antar negara) maupun local (antar orang-orang di sekitar). Psikolog mengatakan bahwa rata-rata manusia mengucapkan kira-kira 100.000 kata dalam satu tahun. Wah, banyak sekali ya kita mengucapkannya? Apakah kita lebih banyak mengucapkan hal-hal yang berguna, atau sebaliknya kita lebih banyak mengucapkan kata-kata yang tidak ada gunanya sama sekali?

Yakobus 3:10 mengatakan: “Dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi.” Mari kita memikirkan kembali sejenak, apakah kita memuliakan Tuhan melalui mulut kita ini? Bukan lidahlah penentu semuanya itu , tetapi hati kita. Bukan sekadar kebersihan di luar (seperti orang Yahudi dulu, Red), tetapi apa yang ada di dalam tubuh (hati) lah penentu itu. Sering kali perkara besar terjadi karena berawal dari masalah yang sepele. Mungkin saja si pengucap memiliki maksud yang baik, tetap apabila diucapkan pada suasana yang sedang tidak baik, maka perkataan yang diucapkan oleh si pengucap akan menjadi tidak baik juga. Sekali lagi ini bukanlah masalah dalam berkata-kata, tetapi prinsip hati.
“Apabila kita menganggap perkataan itu sebagai sesuatu hal yang negatif, maka perpecahanlah yang akan timbul setelahnya.”

Thanks and God bless you guys. :D

*Source: Khotbah Kebaktian Remaja GKI Perniagaan hari Minggu, 29 Agustus 2010 oleh Pdt. Handri Salim dengan beberapa pengubahan.

Share/Bookmark

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thank you for your comment.I'm really appreciate it.