Kurang lebih satu Minggu yang lalu, gue dengan teman-teman gue mengunjungi panti anak-anak jalanan di Petak Asem (Dekat Pasar Ikan) dalam rangka bakti sosial. Gue beserta teman-teman gue mendapatkan begitu banyak pelajaran yang sangat berharga melalui anak-anak jalanan ini. Rasa lelah kami saat menentukan tema dan susuanan acara terbayar sudah setelah bermain bersama dengan anak-anak yang ada di sini.
Sebelum kita ke sana, kita semua mengikuti rapat yang cukup lama dan melelahkan. Bayangkan kita rapat dari pukul 19.30 WIB sampai pukul 22.00 WIB tiap hari Jumat selama 4-6 Minggu. Teman-teman gue sibuk menentukan tema dan susunana acara, sedangkan gue sibuk dengan tugas-tugas gaje di kampus. Ksrena itulah gue sendiri yang merasa bahwa acara bakti sosial tidaklah begitu melelahkan (Sory banget ya teman-teman?). Gue datang saat rapat terakhir, di mana agendanya adalah membereskan dan membungkus bingkisan-bingkisan untuk anak-anak di sana. Waktupun menunjukkan pukul 22.00 WIB dan kami semua telah selesai mengepak dan pulang ke tempat kami masing-masing. Dalam hati gue, gue merasa kedatangan gue tadi serasa hembusan napas bau jengkol yang kedatangannya tidak begitu diperhitungkan (lebay mode on).
Akhirnya hari yang dinantikan tiba juga. JRENG JRENG JRENG JRENG (Sound effect Ultraman sedang melawan monster yang uda jadi raksasa). Kamipun berangkat dengan menggunakan motor. Gue naik motor pinjaman teman cewek gue (bukan teman dari cewek gue, tapi teman gue yang berstatus cewek). Warna motornya ijo-ijo feminim, bodi motornyapun feminim abies. Alhasil gue da kayak lelaki berstatus feminim yang mau belanja jengkol ke pasar. Akhirnya gue sampai juga di TKP, tapi karena tidak ada tempat parkir di sana, terpaksa kita parkir di tempat parkir terdekat
And you know what??? Yup, kami semua harus mengangkat kotak berisi bingkisan-bingkisan seberat baju-baju apek gue dengan cara berjalan kaki. Ternyata jauh juga jalan kaki dengan membawa kotak seberat ini. Untuk membawa kotak itu, diperlukan sekurang-kurangnya 2 orang. Nah, gue kebagian beginian dengan teman g. Postur tubuh gue tinggi, sedangkan temen gue pendek. Walhasil, badan gue encok dan pegal linu gara-gara harus menyesuaikan dengan tinggi teman gue itu supaya kotak itu mudah dibawa. Dengan perjuangan bak tentara gerilya tahun 70-an akhirnya gue bisa sampai dengan baju bersimbah keringat dan banjir keringat ketek di mana-mana.
Setelah sampai di sana, kita harus segera bersiap-siap mempersiapkan acara karena sebentar lagi harus dimulai dan anak-anak sudah ada yang telah datang. Gue yang terlihat seperti orang yang dijorokin ke kolam renang berkata dalam hati: “WHAT???? Ga ada waktu buat mengeringkan badan gue?” Gue depresi. Teman gue bertanya dengan penuh keheranan.
“Buset, kenapa lu keringetan banyak banget?”
“Iya ni, habis ngangkat kotak tadi. Gue lebih banyak basah keringat ketek daripada keringat badan lo?” Dengan tampang culun gue berkata seperti itu.
“…….” Teman gue menjauh 20 cm dari gue.
Akhirnya datanglah anak-anak jalanan itu. Sekitar 30 anak datang dengan antusias, tapi karena melihat kita, terutama gue, antusias mereka menghilang dengan sekejap. Mungkin ada salah satu dari mereka: “Wadu, kakak ini culun banget si?” Atau “Kayaknya saya diajarin kalo mandi buka baju deh, tapi kakak ini ko mandi dengan pake baju?” Atau apapun itu. Gue si berusaha untuk tidak menunjukkan ekspresi keculunan gue pada mereka. Gue berusaha untuk senyum selebar-lebarnya, tapi anak-anak itu malah makin menjauh dari gue. Akhirnya gue mendapatkan pelajaran pertama dari sini: “Oke, ternyata untuk mendekati anak-anak memang susah.”
Acarapun dimulai. Teman gue yang menjadi MC mengajak mereka semua untuk bangun dan bernyanyi lagu anak-anak kesukaan mereka sebagai pemanasan sebelum acara inti dimulai. Mereka semangat sekali. Bertepuk tangan, joged, bahkan maen dorong-dorongan. Lucunya, orang yang didorong itu malah tetap terseyum dan tidak membalas. Tidak seperti orang-orang gede sekarang. Kalo disenggol sedikit saja, bisa timbul adu bacot dan jotos Pelajaran kedua yang bisa gue ambil: “Anak-anak memang polos dan tetap bahagia dalam keadaan apapun.”
Akhirnya datang juga acara intinya: “Babe’s Show”. Kenapa namanya kayak gitu? Well, pembicara yang membawakan acara ini adalah seorang pemuda agak botak berusia 23 tahun yang mukanya tua seperti Babe-babe (bapak-bapak) pada umumnya, sehingga ia dijuluki Babe. Dialah yang membimbing dan mengawasi kita dalam acara ini. Dalam acara ini, ia menceritakan tentang Obama, seorang anak yang dulunya tinggal di Indonesia namun bisa menjadi seorang presiden di Amerika Serikat. Anak-anakpun dengan seksama mendengarkan dengan baik setiap penjelasan yang diberikan, apalagi saat Kak Babe berkata bahwa Mimpi itu tidaklah salah asal kita mau untuk bertekun dengan keras, rajin belajar, serta mengandalkan Tuhan dalam kehidupan mereka. Dari sini gue belajar satu hal lagi: “Walaupun keadaan mereka secara ekonomis kurang, tetapi mereka tetap mempunyai mimpi dan mau untuk meraih mimpi mereka itu.”
Babe’s Showpun telah selesai, berikutnya adalah games dengan anak-anak ini. Mereka sangat bersemangat sekali mengikuti games ini. Ada yang tersenyum lebar, ada yang ngoceh-ngoceh gaje, bahkan ada anak yang saat disuruh untuk mengikuti games ini merasa malu dan hanya bisa memandang sejuta rasa. Mungkin dia takut lihat gue. Dari sinipun gue bisa dapat satu pelajaran lagi: “Anak-anak adalah masa di mana mereka membutuhkan kasih sayang dan kebahagiaan. Janganlah orang lain merampas kebahagiaan mereka dengan menjadikan mereka sebagai pengamen jalanan demi menghidupi kebutuhan mereka dan keluarganya.”
Acarapun telah selesai. Gue tidak merasa bahwa waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB dan tidak menyadari bahwa baju gue sudah kembali seperti sedia kala alias tidak basah lagi. Ternyata pertemuan dengan mereka terasa singkat sekali. Anak-anak kembali ke tempat mereka masing-masing dengan keceriaan yang tinggi. Kami memberi mereka bingkisan sebagai kenang-kenangan. Wow, ternyata ga sia-sia gue datang ke sini. Gue bisa mendapatkan pelajaran yang paling berharga dengan anak-anak ini. Hal penting lagi yang bisa gue dapatkan adalah: “Bersyukurlah dengan keadaan kita saat ini karena mereka yang secara ekonomi lebih kurang dari kita, namun mereka tetap bersemangat dan tetap ceria dalam menjalani hidup ini.”
Kamipun beres-beres dan tidak lupa untuk bernarsis ria di sana dengan teman-teman. Selesai sudah acara ini. Gue merasa tidak mau untuk berpisah secepat ini, tapi apa boleh buat. Kami pamitan dengan penjaga panti ini dan kembali ke tempat parkiran untuk mengambil motor-motor kami. Saat kami dalam perjalanan, kami mendengar suara polos seorang anak kecil memanggil kita: “Kakak, kakak, ketemu lagi ni.” Ternyata anak-anak yang tadi datang ke acara kami yang memanggil kami. Mereka datang menghampiri kami dengan ceria. Ternyata rumah mereka kecil dan terbuat dari kayu-kayu yang sudah lapuk terletak di pinggi kali. Gue merasa malu pada diri gue sendiri. Betapa tidak? Gue yang bisa dibilang cukup lebih baik dari mereka merasa malas-malasan dan tidak mau mensyukuri apa yang ada, sedangkan mereka tetap merasa ceria di tengah keluarga mereka yang pas-pasan. Gue benar-benar merasa tertegun. Akhirnya kami sampai di tempat parkiran dan gue kembali menaiki motor feminim dengan helm yang juga feminim untuk kembali ke tempat awal kami janjian.